Mekar Redaksi Club | SMK N 2 Pekalongan
Media Kreativitas Pelajar

Menantang Maut, Meniti Lereng Dinding Toba demi Pemilu

Label:
Oleh KHAERUDIN

Hari masih gelap saat Sahat Manurung (60) mulai beranjak dari rumahnya. Udara di luar dingin menusuk tulang. Sahat pun bergegas setelah mengenakan jaket dan pakaian terbaik yang dimilikinya. Tak lupa ia mengenakan sepatu kulit kusam dengan kaus kaki coklat kesayangannya. Khaerudin

Layaknya orang Batak ketika menghadiri pesta adat, Sahat pun tak mau penampilannya biasa-biasa saja. Di usianya yang hampir setua republik ini, Sahat berpikir, mungkin inilah pesta rakyat terakhirnya sebelum meninggal.

Ia tak mau menyia-nyiakan itu karena sadar haknya sebagai warga negara pagi itu paling tidak masih bisa memelihara harapan. Dusun Borta, dusunnya yang terpencil di punggung bukit, bakal dialiri listrik suatu hari nanti. Dusun Borta termasuk wilayah Desa Sirungkungon, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara.

Atau harapan lain, siapa pun calon anggota legislatif (caleg) yang dipilih tak lagi membuat penduduk dusun khawatir jika berladang atau ke pasar karena harus menuruni lereng yang curam dan terjal.

Tiga tetangga telah menunggu. Masing-masing memegang kertas undangan memilih di tempat pemungutan suara (TPS), yang harus mereka tempuh dengan berjalan kaki selama hampir dua jam.

Jalan setapak sempit menuruni lereng bukit dari dusun mereka licin dan terjal. Jika tak berhati-hati, lereng yang curam dan berbatu terjal bisa menghabisi langkah mereka. Apalagi di usianya sekarang, langkah Sahat tak selincah saat masih mampu mengolah tanah dari bukit berbatu di punggung Danau Toba.

Beruntung hari itu hujan tak turun. Sahat dan warga Dusun Borta yang punya hak pilih harus punya lebih dari sekadar keberanian untuk menuruni lereng curam. ”Kalau hujan, bisa tergelincir,” ujarnya.

Tergelincir di lereng tebing berarti nyawa melayang karena jauh di bawah bebatuan telah menunggu. Apalagi saat masih gelap gulita dan penerangan hanya seadanya.

Curamnya lereng perbukitan yang mengelilingi Borta membuat dusun itu sulit dijangkau.

Dusun Borta, tempat Sahat tinggal, terletak paling jauh dari pusat Desa Sirungkungon, lokasi TPS didirikan untuk warga satu desa itu. Dari Dusun Borta, mereka menuruni lereng menuju Dusun Tangap. Matahari belum bersinar saat keempat warga Dusun Borta tersebut sampai di Tangap. Senter kecil yang mereka bawa menjadi satu-satunya penerangan jalan. Borta dan Tangap masih belum dialiri listrik.

Dari Tangap, mereka berjumpa dengan beberapa warga yang tengah menunggu perahu untuk membawa mereka ke TPS di Sirungkungon. Butuh waktu 30 menit berperahu ke Sirungkungon.

Mereka yang tak memiliki bekal cukup untuk membayar perahu terpaksa berjalan kaki dari Tangap menuju Sirungkungon. Berjalan kaki dari Tangap juga berbahaya karena lereng bukit semakin curam menuju ke bawah. ”Kalau sudah hujan, kami tak akan berjalan kaki,” kata Holdin Manurung, warga Tangap.

Sekitar pukul 08.00, Sahat dan rombongan satu perahu merapat di Sirunkungon. TPS di halaman gedung SD negeri di desa itu terletak tak jauh dari pinggiran Danau Toba.

Di bawah bukit

Sirungkungon adalah satu dari dua desa di Kecamatan Ajibata yang sulit ditempuh. Satu desa lainnya adalah Sigapiton. Kedua desa ini terletak di bawah bukit-bukit batu yang menjadi dinding Danau Toba.

Sepeda motor menjadi satu- satunya kendaraan yang bisa mendekati kedua desa itu. Jika perjalanan ditempuh dari Ajibata ke Sirungkungon dengan sepeda motor, warga harus berhenti di puncak bukit berbatu ini. Namun, sepeda motor hanya bisa digunakan saat musim kemarau.

Jika dilihat dari danau, lereng-lereng tersebut memang terlihat memukau. Inilah dinding Toba yang membuat danau ini tampak sangat elok.

”Bagi yang tak terbiasa jalan di sini, waktu tempuh bisa sangat lama hanya untuk menuruni lereng menuju desa kami,” ujar Kepala Desa Sirungkungon Gunawan Manurung.

Karena itulah, pengiriman logistik pemilu ke Sirungkungon tidak melalui jalan darat. Logistik lebih aman diangkut menggunakan perahu.

Seminggu sekali, tiap hari Sabtu, ada perahu besar yang biasa menjadi transportasi warga di sekeliling Danau Toba mampir ke Sirungkungon. Dengan perahu, warga Sirungkungon pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan hidup di Ajibata. Selain itu, ada juga perahu kecil yang digunakan warga untuk menjual hasil tangkapan ikan ke Ajibata.

Ketika Sahat dan rombongan sampai di TPS, Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Sirungkungon Tolopan Manurung baru selesai memberikan pengarahan kepada warga yang telah berkumpul lebih dulu. Meski tak ikut mendengar pengarahan, Sahat dan warga Borta lain bersyukur bisa sampai dengan selamat ke TPS.

Keterpencilan Sirungkungon juga membuat hanya 10 parpol yang menghadirkan saksi di TPS. Bahkan, menurut Gunawan, tak satu caleg pun datang selama kampanye.

Sirungkungon berpenduduk 402 orang, dengan jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) 239 orang. Namun, hingga tepat pukul 12.00, saat Tolopan mengakhiri waktu pemungutan suara, hanya 200 orang yang memilih. Ketua Panitia Pemungutan Suara Sirungkungon Goplas Manurung menambahkan, mereka yang tak memilih sebagian telah meninggal dunia dan pindah ke tempat lain, tetapi masih tercantum dalam DPT.

Seusai memilih, Sahat berkumpul bersama warga lainnya tak jauh dari TPS. Sembari tertawa, Sahat menunjukkan kelingkingnya yang telah diwarnai tinta. Ketika ditanya siapa pilihannya, tanpa ragu dia mengatakan.

”Lama kali kucari marga Manurung di daftar caleg DPRD Tobasa, tapi tak ada. Jadi kucontreng sajalah caleg marga Sirait. Masih satu nairasaon (satu kelompok marga) dengan Manurung,” ujar Sahat terkekeh.

Sahat memilih caleg bermarga Pasaribu untuk DPRD Sumut karena menurut dia, sang istri boru (sebutan marga untuk perempuan) Manik. ”Pasaribu dan Manik kan satu keturunan,” ujarnya.

Sahat tak ingat siapa yang dicontreng untuk caleg DPR.

Bukan hanya Sahat yang preferensi politiknya sangat tradisional dalam pemilu legislatif. Hampir seluruh warga Sirungkungon masih menggunakan ikatan kekerabatan sebagai preferensi. Itu seperti yang dikatakan Apul Sitorus, nenek yang rela berjalan jauh dari Tangap untuk memilih. Apul memilih calon anggota DPRD Sumut bermarga Sitanggang. ”Istri anak saya boru Sitanggang,” katanya.

Di dusun yang tak pernah mengenal televisi, apalagi koran, seperti Barto dan Tangap, pengetahuan pemilih tentang caleg sangatlah minim.

Apa pun dasar pilihan mereka, Sahat, Holdin, dan Apul adalah potret orang-orang kecil yang jauh dari hiruk-pikuk permainan politik warga kota. Walaupun jauh terpencil di sudut Danau Toba, bagi mereka, pemilu tetap menyisakan harapan.

kompas cetak




Coretan yang Berhubungan :



0 komentar:

Posting Komentar

Kritik dan Saran sangat diharapkan :D ..

Berlangganan Tulisan Via Email

Masukkan Emailmu Untuk Berlangganan Tulisan Terbaru :

Informasi

Bagi teman - teman yang mau jadi penulis, kontributor atau agregator blog ini. Silakan hubungi administrator di email mekar_rc@yahoo.co.id
Semua tulisan yang diterima oleh administrator akan di-review terlebih dahulu sebelum di-publish di Blog Mekar Redaksi Club ini.

Arsip Mekar


Rubrik

Pembaca Setia

Link Exchange


Tulisan Terbaru

Blogroll dan Banner


Pengunjung yang Online

SEO Stats



Komentar Terbaru

Ungu Box But Grey Online